Breaking

Thursday, May 12, 2022

Harga BBM di AS Cetak Rekor Tertinggi, Biang Keroknya Bukan Cuma Rusia


Negaratoto - Invasi Rusia ke Ukraina menjadi alasan utama para pengemudi di Amerika Serikat (AS) harus membayar mahal untuk bensin. Tapi itu bukan satu-satunya penyebab lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM), ada faktor lainnya.

Harga BBM di AS dengan oktan (RON) 87 mencapai rekor tertinggi, yakni US$ 4,40 atau setara Rp 63.976 per galon (1 galon sekitar 3,7 liter) menurut survei AAA.
Kenaikan harga BBM yang menembus US$ 4 per gallon itu diyakini akan tetap terjadi dengan atau tanpa perang di Ukraina ataupun sanksi ekonomi yang dikenakan pada Rusia.

Kepala Analisis Energi Global untuk Layanan Informasi Harga Minyak yang menyediakan data untuk AAA, Tom Kloza mengatakan harga BBM di AS bisa mendekati titik tertinggi bulan ini.

Harga rata-rata BBM AS bisa dengan mudah mencapai US$ 4,50 atau Rp 65.430 per galon atau bahkan lebih tinggi musim panas ini. "Semuanya dimulai dari 20 Juni hingga Hari Buruh," kata Kloza dikutip dari CNN, Kamis (12/5/2022).

Rusia merupakan salah satu pengekspor minyak terbesar di dunia. Pada Desember lalu Rusia mengirim hampir 8 juta barel minyak dan produk minyak lainnya ke pasar global, 5 juta di antaranya sebagai minyak mentah.

Dari jumlah itu, sangat sedikit yang dikirim ke AS. Pada 2021, tercatat Eropa mendapat 60% dari minyak tersebut dan 20% ke China.

Dengan jumlah sebesar itu, hilangnya minyak Rusia kini mempengaruhi harga di seluruh dunia. Hal itu juga membuat negara Barat yang memberikan sanksi ke Rusia cemas.


Tetapi pada Maret lalu, AS mengumumkan larangan resmi atas semua impor energi Rusia. Pemerintah Inggris juga mengatakan akan menghentikan impor minyak Rusia pada akhir 2022 dan juga mencari cara untuk mengakhiri impor gas alam. Jerman mengumumkan awal bulan ini akan mendukung larangan Uni Eropa terhadap minyak Rusia. Minyak Rusia perlahan dan pasti dikeluarkan dari pasar global.

Harga minyak jatuh ketika pandemi COVID-19 melanda karena turunnya permintaan kala imbauan untuk tetap di rumah. Merespons hal tersebut, OPEC sepakat memangkas produksi minyak, termasuk Rusia kala itu untuk mendongkrak harga.

Perusahaan minyak AS tidak dapat memenuhi target nasional. Mereka juga enggan melanjutkan produksi minyak seperti sebelum pandemi di tengah kekhawatiran aturan lingkungan yang bisa memangkas permintaan pada masa depan.
"Pemerintahan Biden tiba-tiba tertarik untuk lebih banyak melakukan pengeboran, bukan lebih sedikit. Orang-orang lebih khawatir tentang harga minyak yang tinggi daripada yang lainnya," Robert McNally, Presiden perusahaan konsultan Rapidan Energy Group.

Peningkatan produksi memerlukan waktu, terlebih ketika perusahaan minyak menghadapi tantangan sulitnya merekrut tenaga kerja yang tepat seperti yang terjadi di AS.

"Mereka tidak dapat menemukan orang, dan tidak dapat menemukan peralatan," tambah McNally.

Stok minyak minim selama dua tahun terakhir, setidaknya sampai kenaikan harga baru-baru ini. Eksekutif perusahaan minyak lebih suka mencari cara untuk meningkatkan harga saham mereka daripada meningkatkan produksi.

"Perusahaan minyak dan gas tidak ingin mengebor lebih banyak. Mereka berada di bawah tekanan dari komunitas keuangan untuk membayar lebih banyak dividen, untuk melakukan lebih banyak pembelian kembali saham," kata seorang analis di Raymond James Pavel Molchanov.

Salah satu contoh paling nyata ExxonMobil (XOM) bulan lalu mengumumkan laba kuartal pertama sebesar US$ 8,8 miliar, lebih dari tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu.

ExxonMobil juga mengumumkan rencana pembelian kembali saham senilai US$ 30 miliar, jauh lebih besar dari US$ 21 miliar hingga US$ 24 miliar yang diharapkan untuk dibelanjakan pada semua investasi modal, termasuk mencari minyak baru.

Tidak hanya produksi minyak, kapasitas penyulingan AS juga turun. Saat ini, sekitar 1 juta barel lebih sedikit minyak per hari tersedia untuk diproses menjadi bensin, solar, bahan bakar jet, dan produk berbasis minyak bumi lainnya.

Aturan lingkungan negara bagian dan federal AS mendorong beberapa kilang untuk beralih dari minyak ke bahan bakar terbarukan yang lebih rendah karbon. Beberapa perusahaan menutup kilang yang lebih tua daripada menginvestasikan agar tetap beroperasi, terutama dengan rencana kilang baru yang besar akan dibuka di luar negeri di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pada 2023.

Selain itu, harga solar dan bahan bakar jet naik jauh lebih tinggi daripada bensin menunjukkan bahwa penyulingan mengalihkan lebih banyak produksi mereka ke produk tersebut.

"Ekonomi mengamanatkan Anda membuat lebih banyak bahan bakar jet dan solar sehingga merugikan bensin," kata Kloza.

No comments:

Post a Comment