Friday, July 29, 2022

Kudeta Gagal Turki Disebut Dirancang Demi Singkirkan Oposisi


Negaratoto - Kudeta gagal yang terjadi di Turki pada 2016 dinilai sebagai upaya untuk menyingkirkan oposisi. Hal ini dinilai dari bagaimana cara Turki melakukan pembersihan terhadap mereka yang dituding melakukan kudeta.

Dilansir dari Gazeta Express, Kamis (28/5/2022) Executive Director of Alliance for Shared Values, New Jersey, Amerika, Y Alp Aslandogan awalnya menjelaskan bahwa di dunia saat ini diwarnai dengan para pemimpin yang gemar merebut kekuasaan dan mengukuhkan diri dalam kekuasaan usai terpilih.

Dia menilai para pemimpin ini menggunakan 'manual otokrat' demi memperluas kekuasaan eksekutifnya. Hal ini dilakukan dengan mengorbankan parlemen dan lembaga pemerintah, menekan perbedaan pendapat demokratis, menarik populisme dan nasionalisme, mengendalikan media dan informasi.

"Ini sebuah panduan manual, pada tingkat yang berbeda, yang bisa dilihat terjadi di antara para pemimpin negara-negara seperti Nikaragua, Venezuela, Hungaria, Belarus, Rusia dan Turki, yang telah menambahkan babak baru dari 'sebuah kudeta bertahap'," kata Alp Aslandogan.

Aslandogan menceritakan bagaimana enam tahun lalu pada 15 Juli 2016, sekelompok anggota militer Turki dimobilisasi dalam upaya kudeta untuk menggulingkan pemerintah, yang merenggut nyawa lebih dari 250 orang dan membuat 2.100 orang terluka.

Tentara Turki melakukan kudeta militer. Sedangkan pemerintahan telah berubah tiga kali sebelumnya sebagai akibat dari kudeta.

"Ketidakmampuan yang luar biasa dari upaya kudeta ini dikombinasikan dengan sambutan gembira Presiden Erdogan, yang mengumumkan tersangka pelaku tanpa penyelidikan, pembersihan besar-besaran dan cepat berdasarkan daftar pembersihan yang sudah ada sebelumnya, membuat pengamat asing percaya bahwa ini bukan kudeta nyata tetapi sebuah kudeta yang dirancang," kata Aslandogan.


Sementara itu, David Weinberg, Wakil Presiden Institut Strategi dan Keamanan Yerusalem, menyatakan bahwa insiden itu mengandung tanda-tanda yang jelas dari operasi palsu, yaitu operasi penyamaran yang tampaknya dilakukan oleh pihak lain.

Upaya itu dinilai sangat ceroboh. Sebab rencana ini dilakukan pada hari yang 'salah'.

"Para pelaku atau aktor gagal dengan cepat menguasai simpul-simpul utama kekuasaan dan saluran komunikasi utama untuk Erdogan. Mereka juga gagal menangkap pejabat penting pemerintah dan melewatkan beberapa peluang bagus untuk menangkap Erdogan sendiri," kata David Weinberg.

Lebih lanjut Wenberg menunjukkan bahwa 99 jenderal yang ditangkap karena terlibat dalam kudeta dapat mengorganisir rencana yang jauh lebih efektif untuk menggulingkan pemerintah jika mereka mau. Namun akhirnya Erdogan mengklaim bahwa 9.000 petugas polisi, 6.000 tentara, 30 gubernur regional dan 50 pegawai negeri senior juga terlibat dalam upaya tersebut.

Kisah kudeta gagal ini menurut David benar-benar tidak bisa dipercaya. Setelah menggunakan istilah 'kudeta bertahap' untuk menggambarkan insiden tersebut, pemimpin partai oposisi CHP dipukuli oleh kelompok pro-Erdogan di siang bolong.

Sementara itu, pemimpin partai oposisi lainnya, HDP pro-Kurdi, Selahattin Demirtas, dipenjara tak lama setelah menyatakan di parlemen bahwa Erdogan tahu banyak hal terkait insiden tersebut.

Setelah membungkam narasi yang berlawanan, Erdogan mengisi kekosongan dengan propaganda, dengan menyalahkan simpatisan pengkhotbah Turki Fethullah Gulen-yang telah tinggal di pengasingan di Amerika Serikat sejak 1999.

Gulen sendiri mengecam kudeta dan pemberitaan di media, sebab ia telah berulang kali membantah terlibat dalam upaya kudeta tersebut. Dia justru menyarankan agar Erdogan mengizinkan berlangsungnya pengadilan internasional independen. Kendati demikian, Erdogan tidak pernah menanggapi seruan ini.

Untuk diketahui, Committee to Protect Journalists and Reporters Without Borders telah berulang kali menyebut Turki sebagai penjara jurnalis terburuk di dunia. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mengeluarkan banyak keputusan yang menyatakan pemenjaraan para pembangkang demokratis (oposisi) dari Turki bermotif politik.

Sementara itu, Amnesty International mencatat dalam laporannya pada tahun 2021 bahwa di Turki politisi oposisi, jurnalis, bahkan wanita hamil dan wanita yang baru saja melahirkan pun tak luput dari penganiayaan bermotif politik.

Mantan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al Hussein memprotes bahwa pemenjaraan wanita hamil dan wanita yang baru saja melahirkan itu keterlaluan dan kejam.

No comments:

Post a Comment