Monday, March 28, 2022

Hampir Rata dengan Tanah, Tak Ada yang Tertinggal di Kota Mariupol Ukraina

 

NEGARATOTOButuh dua hari bagi saudara kembar Hanna dan Anastasiya Hrechkina mencari tumpangan untuk ke luar dari Mariupol saat kota itu terus dibombardir pasukan Rusia.

"Saya kehilangan harapan karena orang-orang tidak mau berhenti," kata Anastasiya (22), mahasiswa psikologi, dikutip dari Reuters, Jumat (25/3).

Bersama ibu dan bibi mereka, seorang sepupu dan teman, saudara kembar itu mengatakan mereka memutuskan meninggalkan Mariupol setelah dua pekan lebih dikepung pasukan Rusia.

Anastasiya menuturkan, pada hari pertama mereka berusaha melarikan diri, pertempuran sangat intens di mana setiap lima sampai 10 menit mereka harus meninggalkan barang-barang mereka di pinggir jalan dan lari untuk menyelamatkan diri.

Akhirnya, mereka menyerah dan kembali ke rumah.

Lalu pada hari kedua, seorang pria yang melarikan diri bersama keluarganya menggunakan empat kendaraan setuju untuk memberi tumpangan pada saudara kembar itu dan keluarganya.

Walaupun hanya ada kursi tambahan untuk empat penumpang, enam orang itu rela berdesakan di kendaraan yang disebut Hanna "momen paling membahagiakan hari itu."

Mariupol, kota yang populasinya berjumlah 400.000 orang, hampir rata dengan tanah karena gempuran Rusia yang bertujuan untuk menghancurkan kelompok perlawanan di kota itu.

Ratusan ribu orang bersembunyi di ruang bawah tanah tanpa air mengalir, makanan, obat-obatan maupun listrik, tidak bisa keluar dari tempat tersebut. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskiy mengatakan "tak ada yang tertinggal" di kota itu.

Kementerian Pertahanan Rusia menyalahkan "nasionalis Ukraina" atas apa yang disebut "bencana kemanusiaan" di Mariupol.

Rusia menyebut tindakannya di Ukraina sebagai "operasi khusus" untuk menghancurkan kemampuan militer negara tetangganya itu dan menangkap apa yang disebutnya nasionalis berbahaya. Rusia membantah menargetkan warga sipil.

Saudara kembar Hrechkina dan keluarganya mencoba bertahan pada pekan pertama pengepungan, walaupun ketika kondisi semakin memburuk dan pertempuran semakin mendekat.

Saya tidak ingin mati di jalan

Anastasiya mengatakan mereka kekurangan makanan, hanya memakan dua kali dalam sehari. Tanpa persediaan gas, mereka mengatakan para penduduk membuat api di luar rumah untuk memanaskan makanan mereka, beberapa merusak bangku atau menebang pohon.

Dengan jaringan seluler yang terputus dan tidak ada listrik untuk mengisi daya ponsel, saudara kembar itu terputus dari dunia luar.

"Kami pikir mungkin kalau tidak ada yang datang menolong kami, mungkin dunia tidak tahu tentang situasinya," kata Anastasiya.

Ketika gempuran semakin intensif mereka tidak bisa lagi mengambil air dari sumur terdekat, mereka tahu itulah saatnya mereka harus pergi.

Ketika empat kendaraan itu mereka temukan di jalan, dua bersaudara itu tak bertanya lagi kemana tujuan mereka.

"Saya tidak tahu kemana kami pergi, saya tidak tahu butuh waktu berapa lama tapi saya bahagia saya ada di dalam mobil, kami semua bersama keluarga kami," kata Hanna.

Tapi kemudian mereka mengetahui tidak semua mobil menuju destinasi yang sama, takut mereka dipisahkan dengan ibu mereka.

Mobil itu membawa mereka ke Berdiansk, dari sana mereka naik bus yang disiapkan Palang Merah Ukraina yang akan membawa mereka ke Zaporizhzhia, di mana mereka berharap berkumpul kembali dengan ibu mereka.

Namun, gempuran sengit memaksa bus itu berhenti sekitar 50 kilometer dari kota itu.

"Saya diserang panik di sana, saya pikir setelah kami melarikan diri dari Mariupol, saya tidak ingin mati di jalan," kata Anastasiya.

Akhirnya mereka bertemu dengan ibu mereka. Dari Zaporizhzhia, kerabatnya membawa dua bersaudara itu ke Kryvyi Rih, 400 kilometer barat laut Mariupol.

"Saya ingin di Ukraina dan saya ingin kembali ke Ukraina, tapi saat ini saya merasa perlu ada di tempat yang lebih aman daripada apa yang ada di Ukraina sekarang," kata Hanna.

"Selalu ada ancaman untuk dikepung lagi. Saya tidak ingin melalui itu," pungkas Anastasiya.


No comments:

Post a Comment