Tuesday, March 29, 2022

Asal-Usul Hidangan Makanan Prasmanan di Indonesia

 

NEGARATOTOPengaruh berbagai budaya, menyebabkan cara makan pun berubah dari masa ke masa.

Cara prasmanan sudah merupakan hal yang sangat lazim di kalangan masyarakat kita. Selain di hotel, cara tersebut juga kerap digunakan dalam berbagai pesta jamuan makan di acara pernikahan, perayaan ulang tahun dan kegiatan-kegiatan resmi lainnya.

Istilah 'prasmanan' sendiri mengacu kepada cara penyajian makanan yang dihidang di atas meja. Hidangan tersebut disusun sedemikian rupa agar para tamu bisa memilih sendiri makanan yang diminatinya.

Sejatinya, cara prasmanan tidak dikenal di Indonesia. Orang-orang Nusantara (terutama Jawa dan Sumatera) lebih akrab dengan cara makan bersama dengan sajian jenis makanan yang dihidangkan secara terbuka. Orang Sunda misalnya, akrab dengan tradisi ngaliwet. Kegiatan mengolah nasi liwet di atas hamparan daun pisang lalu menyantapnya bersama-sama konon sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Banyak kalangan menyebut tradisi makan ini bukan berasal dari tanah Jawa melainkan diadopsi dari budaya orang-orang Arab lewat dunia pesantren.

"Memang tradisi makan berjamaah di Nusantara awalnya diperkenalkan para imigran Arab sebagai bentuk pelaksanaan sunnah Nabi," ujar jurnalis sejarah Alwi Shahab kepada Historia.

Dalam kitab Fathul Baari karya Ibnu Hajar al Asqalani, ulama besar dan ahli hadist kelahiran Mesir, disebutlah sebuah hadits Nabi Muhammad yang berbunyi: "Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang." Karena hadits inilah orang-orang Arab membiasakan diri makan bersama-sama dalam shahfah (piring besar untuk makan lima orang) atau qas’ah (piring besar untuk makan sepuluh orang).

Pada abad ke-18, para imigran Hadrami (Yaman), Hijaz, dan Mesir membanjiri Nusantara. Bersama kedatangan orang-orang Asia Barat itu, dibawa pula berbagai tradisi budaya mereka termasuk soal etika makan. Seiring menguatnya pengajaran agama Islam, etika makan gaya Arab itu diadopsi para kiai dan santri lantas lambat-laun menyeruak ke khalayak.

Cara Makan Orang Nusantara

Sebelum abad ke-18, cara makan orang Nusantara cenderung lebih personal. Menurut sejarawan Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, pada umumnya saat menikmati makan, orang Nusantara akan duduk santai di lantai sambil menikmati makanan yang dialasi dengan selembar daun pisang atau piring kayu. Sebelum makan, tangan kanan dicuci dengan air supaya nasi yang dikepal tak lengket di tangan sehingga mudah disuapkan ke mulut.

"Mencuci tangan dan makan dengan menggunakan tangan kanan adalah penting dalam budaya makan di kalangan pribumi," tulis Fadly.

Kebiasaan makan seperti itu sudah lama dianut bukan saja oleh orang-orang Nusantara tapi nyaris semua penduduk yang tinggal di kawasan Asia Tenggara. Di lain tempat wadah nasi dan lauk-pauk diganti daun-daun lebar seperti daun pisang dan daun jati. Tetapi ada perbedaan gaya antara khalayak dan kaum ningrat dalam soal etika makan.

Kendati sama-sama menggunakan tangan, ada aturan khusus yang dianut para bangsawan. Di antaranya saat makan dilarang keras bercakap-cakap atau mengangkat satu kaki serta harus mendahulukan orang yang paling tua.

Awal Mula Prasmanan

Ketika memasuki abad ke-19, sebagian kaum elit bumiputra mulai mengadopsi kebiasaan makan orang-orang Eropa, yakni menggunakan sendok dan garpu. Tentunya penggunaan alat-alat makan khas Eropa itu sudah mengalami penyesuaian mengingat pisau tak biasa digunakan. Sebab, sebagaimana halnya masakan Tionghoa, masakan Jawa disiapkan untuk sesuap-sesuap dan tak perlu dipotong di piring.

"Pada umumnya sendok dipegang di tangan kanan lalu diisi makanan yang didorong dengan garpu," tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan.

Ketika sebagian orang-orang Nusantara sudah mulai akrab menggunakan peralatan makan orang Eropa, gaya penyajian makanan pun mulai mengacu kepada cara orang-orang yang berasal dari wilayah Barat itu. Tahun 1896, orang-orang Belanda mulai gandrung memakai gaya prasmanan.

Kata 'prasman' mengacu pada cara makan orang 'fransman', sebutan orang Belanda kepada orang Prancis, yang sering menyajikan makanan dengan ditaruh di atas meja.

"Orang-orang Prancis sendiri menyebut cara ini dengan nama buffet," tulis Suryatini N. Ganie dalam Upaboga di Indonesia.

Kata 'buffet' diartikan sebagai meja besar yang ditaruh dekat pintu masuk restoran-restoran. Di atas meja, hidangan disusun para pelayan dengan maksud agar para tamu mendatangi meja tersebut dan memilih sendiri makanan yang diminatinya.

Cara 'fransman' ini kemudian diikuti orang-orang Belanda. Menurut Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara, cara ini juga diadopsi orang-orang Nusantara dan cukup diminati hingga kini. Karena orang Nusantara sulit melafalkannya, kata 'fransman' pun lantas disebut 'makan prasman' yang lambat-laun menjadi 'makan prasmanan'.

No comments:

Post a Comment