Kondisi Memilukan Jessica Wongso Seusai 6 Tahun di Penjara
NEGARATOTO - Masih ingat dengan Jessica Kumala Wongso?, Pada tahun 2016 silam, publik digegerkan dengan kematian perempuan bernama Wayan Mirna Salihin seusai minum kopi di Kafe Olivier, Jakarta Pusat. Kasus tersebut menyeret Jessica Wongso yang merupakan sahabat Wayan Mirna Salihin sendiri.
Polisi memutuskan Jessica Wongso bersalah dan menjadi tersangka dalam kasus kopi Sianida tersebut. Dalam kasus tersebut, Jessica Wongso disebut sengaja mencampurkan zat berbahaya sianida dalam kopi yang diminum Wayan Mirna Salihin.
Akhirnya, Jessica Wongso dijatuhi hukum pidana selama 20 tahun penjara. Enam tahun berlalu, ternyata kondisi Jessica di penjara berubah drastis.
Penasaran seperti apa kondisinya?
Dia hampir setiap pagi dan siang hari bersembahyang di vihara jelang sidang pembacaan putusannya pada 27 Oktober 2016. Mantan pengacara Jessica Wongso, Otto Hasibuan, mengaku sedih dengan kabar penolakan upaya banding tersebut.
Otto mengaku, sejak divonis bersalah, Jessica Wongso tidak lagi memakai jasanya sebagai pengacara. Jessica memilih menggunakan pengacara lain untuk menangani permohonan peninjauan kembali (PK) kasusnya.
Lama tak muncul seusai diputus bersalah dan mendekam di penjara, Jessica Kumala Wongso mengajukan upaya banding pada tahun 2019.
Sayangnya, hingga tahap kasasi, semua upaya itu ditolak dan justru menguatkan putusan pada pengadilan tingkat pertama. Meski saat itu sudah tidak lagi menangani Jessica Wongso, Otto menyatakan bahwa kliennya itu tak terbukti membunuh.
Masalahnya, tidak ada satu pun rekaman CCTV memperlihatkan Jessica menuang racun sianida ke dalam minuman yang menyebabkan Mirna meninggal. Belakangan, Jessica Wongso memberikan pengakuan bahwa dia bukanlah orang yang meracuni Mirna.
Pengakuan itu tertuang dalam nota pembelaan (pledoi) yang dibacakan Jessica pada sidang kasus ke 28 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Ia membela diri di hadapan Majelis hakim yang dipimpin oleh hakim Kisworo. Ia merasa dirinya diperlakukan seperti sampah.
"Bagaimanapun juga, saya tidak membunuh Mirna, jadi seharusnya tidak ada alasan untuk memperlakukan saya seperti sampah," ujar Jessica.
Pada 16 Januari 2016 atau enam hari setelah pemakaman, Kepala Puslabfor Polri saat itu, Brigadir Jenderal Alex Mandalikan, mengungkapkan bahwa ada zat sianida dalam kopi Mirna. Racun mematikan tersebut juga ditemukan di lambung Mirna. Setelah diperiksa, ternyata ada sekitar 3,75 miligram sianida dalam tubuh Mirna.
Oleh karena itu, polisi meningkatkan penyelidikannya menjadi penyidikan. Peningkatan status tersebut karena diduga ada tindak pidana dalam kematian Mirna. Polisi lantas melakukan gelar perkara sebelum menetapkan tersangka.
Ajukan banding, kasasi, dan PK
Vonis hakim tersebut belum mengakhiri kasus kematian Mirna. Sebab, pihak Jessica melancarkan berbagai upaya hukum. Usai mendengar vonis hakim, Jessica langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pada 7 Maret 2017, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengeluarkan putusan bernomor 393/PID/2016/PT.DKI Tahun 2017.
Dalam putusan itu, hakim Elang Prakoso Wibowo, Sri Anggarwati, dan Pramodana Atmadja menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 20 tahun kepada Jessica. Mengetahui bandingnya ditolak, Jessica melakukan upaya hukum lanjutan dengan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Akan tetapi, permohonan kasasi Jessica dengan nomor register 498K/Pid/2017 juga ditolak MA pada 21 Juni 2017. Tetap merasa tak bersalah, Jessica melancarkan usaha lain demi terbebas dari hukuman penjara dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Namun, lagi-lagi upaya hukum yang diajukan Jessica ditolak. MA menolak permohonan PK Jessica dengan nomor register 69 PK/PID/2018 itu pada 3 Desember 2018. Jessica Wongso pun hingga kini masih mendekam di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, menjalani vonis 20 tahun penjara.
Setelah divonis 20 tahun penjara atas kasus pembunuhan I Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso lebih sering berdiam diri di dalam kamar selnya. Jessica tampak lebih pendiam setelah kasus pembunuhan yang menyeret namanya itu.
"Jessica belakangan ini setelah sidang putusannya jadi lebih banyak di kamar aja," kata Ika Yusanti, Kepala Rutan Pondok Bambu saat itu, saat dihubungi, Sabtu (19/11/2016).
Petugas lapas pun tidak tahu pasti apa yang menyebabkan Jessica Kumala Wongso berubah.
"Mungkin merenung atau berdoanya sekarang di kamar. Jess (Jessica Kumala Wongso). Keluar kamar kalau dibesuk sama orangtuanya aja," kata dia.
Sebelumnya, Jessica Kumala Wongso, terbilang rajin bersembahyang di vihara . Jessica Kumala Wongso hampir setiap pagi dan siang hari bersembahyang di vihara jelang sidang pembacaan putusannya pada 27 Oktober 2016. Bahkan, ia mengajak ibunda dan pamannya untuk bersembahyang bersama di vihara rutan sehari sebelum sidang vonis kasusnya.
Jessica sempat menyatakan kepada ibunda dan penasihat hukumnya, dirinya yakin akan divonis bebas. Namun, takdir berkata lain pasalnya dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 27 Oktober 2016 .
Jessica terbukti bersalah atas pembunuhan berencana terhadap sahabatnya, I Wayan Mirna Salihin. Lama tak tersorot, kabar baru muncul dari Jessica yang kini tengah menjalani masa tahanan.
Kabar tersebut bahkan membuat mantan pengacara Jessica Kumala Wongso, Otto Hasibuan bersedih. Otto menjelaskan bila upaya Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Jessica.
"Ya itu putusan hakim harus saya hargai," kata Otto saat dikonfirmasi.
Otto menuturkan, ia tak lagi menangani kasus yang dijalani Jessica. Otto mengaku Jessica memilih jasa pengacara lain guna mengajukan PK dengan Perkara Nomor 69 PK/PID/2018 itu. Meski tak lagi menangani kasus Jessica, Otto mengaku sedih mengetahui kabar tersebut.
"Ya saya sedih. Meskipun bukan saya yang nanganin di PK-nya, tetapi saya sedih dan saya tetap masih keyakinan saya tetap," ujarnya.
Meski tak lagi menangani kasus tersebut, Otto masih berkeyakinan bahwa kliennya tak terbukti membunuh Mirna lantaran tak ada satupun CCTV yang memperlihatkan Jessica menuangkan racun sianida di minuman yang menyebabkan Mirna tewas.
Belakangan Jessica Wongso memberi pengakuan bahwa bukan dia yang meracuni Mirna dengan sianida.
Pengakuan tersebut tertuang dalam nota pembelaan (Pleidoi) yang dibacakan oleh Jessica Wongso pada sidang kasusnya yang ke 28 di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, 13 September 2016.
Perempuan kelahiran Jakarta, 9 Oktober 1988, tersebut tak kuasa menahan air mata saat membela diri di hadapan Majelis hakim yang dipimpin oleh hakim Kisworo.
"Bagaimanapun juga, saya tidak membunuh Mirna, jadi seharusnya tidak ada alasa.
untuk memperlakukan saya seperti sampah," ujar Jessica dalam nota pembelaannya.
Adapun isi lengkap dari nota yang dibacakan oleh Jessica di hadapan hakim adalah sebagai berikut:
"Saya ada di sini karena saya dituduh meracuni teman saya Mirna. Saya tidak menyangka kalau pertemuan di tanggal 6 Januari tersebut adalah saat terakhir saya bertemu Mirna, apalagi saya dituduh membunuhnya. Namun saya sadar kalau tidak ada yang luput dari kehendak Tuhan yang Maha Esa. Dan selama ini saya diberikan kekuatan yang sangat luar biasa untuk menghadapi cobaan ini.
Mirna adalah teman yang baik, karena Mirna memiliki sifat yang ramah, baik hati dan jujur dengan teman-temannya. Selain itu dia juga sangat humoris, kreatif, dan pandai. Walau kita jarang bertemu karena tinggal di negara yang berbeda tetap sangat mudah untuk menghabiskan waktu berjam-jam bercanda dan mengobrol pada saat bertemu.
Tidak pernah terlintas di pikiran saya bahwa Mirna datang dari keluarga yang siap menekan dan mengintimidasi siapapun yang mereka percaya telah berbuat hal yang buruk walau tanpa penjelasan yang pasti. Itu membuat saya berpikir apakah mereka menjadi jahat karena kehilangan Mirna.
Bagaimanapun juga saya tidak membunuh Mirna jadi seharusnya tidak ada alasan untuk memperlakukan saya seperti sampah.
Saya mengerti kesedihan mereka dan saya pun merasa sangat kehilangan, tapi saya pun dituduh membunuh yang saya tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan dengan kata-kata.
Sebelum kejadian saya tidak mendapatkan firasat apapun yang menunjukkan kalau hari itu akan merubah hidup banyak orang. Semua hal yang saya lakukan dan tidak saya lakukan dibesar-besarkan, seluruh rakyat Indonesia menghakimi saya.
Semua tuduhan kejam berdasarkan tuduhan yang saya tidak mengerti. Tapi membuat semua orang percaya kalau saya seorang pembunuh. Keluarga saya dipojokkan dan kami dibuat sangat menderita.
Yang Mulia, sulit untuk menjelaskan apa yang benar-benar saya rasakan atas kejadian ini. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Apa benar ini gara-gara kopi tapi satu hal yang saya tahu dan yakinkan saya tidak menaruh racun dalam kopi yang diminum Mirna.
Seringkali saya berpikir apa ada hal yang bisa saya lakukan lebih baik di hari itu untuk mengubah semuanya. Pikiran ini membuat saya sangat sedih dan tertekan. Dalam waktu yang cukup lama saya tidak bisa berupaya untuk membela diri. Walaupun kenyataan hidup saya sangat mengerikan tapi saya yakin kalau Tuhan mendengar doa saya karena ini doa orang benar yang tertindas.
Pada hari kematian Mirna mimpi buruk saya dan keluarga saya dimulai. Sejak di rumah duka saya sudah dituduh menaruh sesuatu di kopinya Mirna lalu polisi tanpa seragam dan identitas mulai berdatangan ke rumah. Bahkan keluarga sekitar terganggu.
Wartawan mulai datang ke rumah dan akhirnya saya tampil di media dan dicemooh. Setelah itu saya ditangkap di hotel di mana saya dituduh lagi mencoba untuk kabur, padahal waktu itu kami hanya mencari ketenangan dan kenyamanan yang tidak bisa didapatkan di rumah lagi.
Untuk keluar membeli makan saja sulit. Mulai hari penangkapan, tekanan dari polisi semakin terlihat. Mereka terus-menerus menyuruh saya untuk mengaku dengan rekaman CCTV sebagai senjata.
Yang Mulia, tidak perduli seberapa berat, sedih, tertekan dan hancur, apapun dan siapapun tidak akan bisa membuat saya mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan dan tidak mungkin akan saya lakukan.
Saya ditempatkan di satu sel yang ukurannya tidak lebih 1,5 x 2,5 meter. Saya diperingatkan kalau tahanan lain akan melakukan hal yang tidak baik terhadap saya, tidak ada satu barang pun yang saya miliki dan tidak boleh dikunjungi keluarga sampai lima hari ke depan.
Satu satunya benda yang ada di sana adalah sepotong pakaian kotor di lantai. Sewaktu saya berbaring di sana, saya menangis dan bertanya apakah yang sudah saya lakukan sehingga saya diperlakukan seperti ini.
Saya mencoba mencari orang lain karena saya sangat takut berada di sana. Saya tidak berani membayangkan bagaimana perasaan orang tua saya. Lalu saya coba mengintip dari satu-satunya celah untuk berkomunikasi, yaitu lubang kecil di pintu besi, tapi tidak ada seorang pun di sana.
Pada malam berikutnya direktur pimpinan umum yang menjabat saat itu datang ke sel saya dan mengajak ke satu ruangan.
Dengan disaksikan penjaga dari luar ruangan dia mulai berbicara dengan bahasa Inggris bahwa dia merendahkan harga dirinya untuk datang ke tahanan.
Lalu dia meminta saya mengakui tuduhan yang diberikan kepada saya dengan dalih kalau sudah memeriksa rekaman CCTV.
Pada intinya dia mau mengatakan kalau saya mau mengakui maka saya akan divonis tujuh tahun bukan hukuman mati atau seumur hidup.
Lalu saya kembali ke sel. Di sana saya berharap untuk bangun dari mimpi buruk ini dan berpikir kenapa mereka sangat yakin kalau saya menaruh racun di kopi tersebut. Saya benar-benar tidak mengerti apa maksud semua ini.
Yang mulia, salah satu pengalaman yang terberat adalah waktu rekonstruksi di Grand Indonesia. Setibanya di sana, saya melihat banyak sekali polisi baik di luar ataupun di dalam gedung.
Apapun tujuan mereka itu sudah berhasil mengintimidasi. Dengan memakai baju tahanan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan, saya mendapatkan tatapan sinis dari semua orang, terutama pegawai kafe Olivier.
Tapi yang membuat saya hancur adalah pada saat melihat Arif dan Hanny dan keluarga mereka. Di balik ekspresi saya yang tenang saya hanya ingin berteriak kepada mereka kalau saya tidak membunuh Mirna.
Mohon tolong saya, saya sangat menderita. Namun pada saat itu saya hanya bisa menerima perlakuan dan perasaan mereka dan berdoa semoga Tuhan memberikan jalan keluar.
Tidak selesai itu saja, setelah itu saya harus berjalan menuju toko sabun.
Di sore hari pada hari Minggu saya harus melewati pengunjung yang menghujat saya pembunuh berdarah dingin dan mengambil foto, sampai sekarang saya tidak tahu harus bagaimana harus menghadapi semua itu.
Saat itu saya kembali ke sel dan mengeluarkan semua air mata yang tertahan seharian. Saya tidak mau memperdulikan situasi sel yang sangat tidak nyaman karena hal ini.
Selama masih secara rutin diperiksa di Polda dan di RSCM, walau berat saya tetap mengikuti dan berharap cepat selesai dan bisa pulang. Bagaimanapun stressnya saya, saya tetap menghormati proses pemeriksaan sesuai prosedur.
Semua tuduhan yang berdatangan dari orang-orang yang tidak dikenal dan orang-orang yang dulu saya sayangi membuat saya merasa kalau tidak ada lagi yang tersisa dalam diri saya. Namun saya yakin semua akan baik-baik saja.
Setelah empat hari dikurung sendiri, saya dipindahkan ke Pondok Bambu. Pertama-tama saya sangat takut karena begitu banyak orang di sana membuat saya sangat khawatir akan peringatan polisi pada saat saya ditahan.
Setelah keluar dari isolasi di Polda saya perlahan mulai bisa memepersipkan diri untuk bisa menghadiri proses sidang yang menyeramkan ini. Menyeramkan karena tujuan dari persidangan ini adalah untuk mengadili saya sebagai pembunuh. Padahal saya tidak melakukan itu.
Bahkan saat proses persidangan berlangsung kehidupan saya pribadi yang tidak ada kaitannya dengan kasus ini dibahas dan menjadi konsumsi publik.
Banyak orang yang dengan sengaja maupun tidak sengaja menindas dan menekan saya.
Saya tetap bersyukur karena masih ada orang di sekitar saya yang saya kenal secara pribadi mapun tidak dengan tulus memberikan dukungan dan percaya kalau saya tidak bersalah. Dengan dukungan tersebut saya bisa bersikap tegar dan tersenyum.
Kalau Yang Mulia dapat berhenti sejenak dan membayangkan Yang Mulia berada di posisi saya, Yang Mulia akan bisa mengerti kenapa saya bertanya-tanya apa yang terjadi dan mengapa semua ini sangat membingungkan, bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti ini terhadap saya.
Karena pengalaman ini hidup saya tidak akan kembali seperti semula. Namun saya tidak menyesal telah mengenal Mirna. Dia akan selamanya hidup di hati saya sebagai teman yang baik dan dia tahu kalau saya tidak mungkin meracuni orang.
Saya memohon Yang Mulia bisa dengan bijak menilai karakter saya. Bukan berdasarkan kebohongan. Walaupun sisi baik saya selalu diabaikan di persidangan ini, saya tetap berharap agar Yang Mulia bisa menilai dengan hati yang arif dan bijak dalam menilai karakter saya yang sesungguhnya.
Saya bersumpah kalau saya bukan seorang pembunuh. Saya berada di sini dengan tegar dan kuat adalah bukti yang mutlak kalau Tuhan bersama kita semua. Terimakasih Yang Mulia yang sudah mendengarkan saya," demikian pledoi yang panjang dari Jessica Kumala Wongso.
No comments:
Post a Comment