Mengamuk, gelisah, menyembunyikan emosi sebenarnya, dan merasa rendah diri—sayangnya, beberapa orang tua menurunkan semua kualitas negatif ini kepada anak-anak mereka. Egoisme dan sikap acuh tak acuh mereka terhadap perasaan anak berdampak besar kepada anak pada masa kecil mereka. Akibatnya, anak mulai mengkritik diri sendiri, merasa tak berdaya, dan punya masalah dalam kehidupan sosial mereka.
1. Takut dimanipulasi.
2. Kesulitan berinteraksi dan memercayai orang lain.
Saat seseorang dibesarkan dalam suasana tegang, di mana sering terjadi manipulasi dan kekerasan psikis lainnya, hal itu meninggalkan bekas pada orang ini. Beberapa orang tua mungkin tidak bisa memberi anak mereka dukungan yang dibutuhkan. Dalam kasus lain, mungkin ada seseorang yang tinggal dalam keluarga di mana dia selalu harus waspada. Nantinya, orang itu akan kesulitan melupakan perasaan bahwa dia harus selalu bersikap seperti itu. Pada akhirnya, dia bisa menjadi kesulitan memercayai dan membuka diri pada orang lain.
Masalah kasih sayang memang berat. Dengan sering melihat serta mengalami kekerasan fisik dan psikis, penganiayaan, dan ditelantarkan, mereka membentuk gagasan sendiri mengenai hubungan. Orang-orang ini mungkin tidak memahami seperti apa hubungan yang penuh kasih dan sehat. Secara tak sadar, mereka selalu menunggu seseorang di dekatnya bersikap berlebihan, menuntut, menyalahkan mereka, atau mengecewakan mereka.
3. Sulit menerima kegagalan.
4. Merasa kurang percaya diri.
“Penghargaan” positif dari keluarga adalah unsur penting bagi kita saat membahas kesehatan kejiwaan. Itu sama pentingnya dengan merasa dicintai dan memiliki. Jika hubungan antara anak dan orang tua penuh kekerasan, anak bisa mulai memiliki masalah dalam hal kejiwaan, identitas, dan rasa percaya diri. Ini membawa dampak negatif seperti kecemasan dan bahkan depresi.5. Banyak mengkritik diri sendiri.
6. Mengesampingkan emosi.
Orang tua yang melakukan kekerasan verbal dan fisik mengabaikan emosi anak mereka. Selain itu, jika anak-anak coba mengungkapkan emosi mereka, itu bisa membuat mereka semakin diperlakukan buruk oleh keluarganya. Hasilnya, anak-anak terbiasa menyembunyikan perasaan terluka, kebencian, dan kemarahan. Nantinya, mereka bisa memprioritaskan emosi orang lain daripada emosi mereka sendiri.
Menekan emosi juga mengganggu proses identifikasi diri seseorang. Mereka merasa kesulitan memahami jati diri, perasaan, dan keinginan dalam hidup mereka, sehingga gagal mengembangkan diri karena secara psikis, mereka selalu tertahan oleh ketakpastian dan kurangnya kedekatan dengan orang lain.
7. Selalu merasa seperti anak tak berdaya.
Orang tua toxic terkadang menolak mengakui anak mereka sudah dewasa. Berapa pun usia anak mereka, orang tua akan selalu memperlakukannya seperti bayi yang tidak berdaya. Orang tua ingin mengatur dan mendikte. Jika mendapat perlawanan, mereka akan bersikap seolah tersinggung untuk membuat anak mereka merasa bersalah.
Jika anak tidak diizinkan membuat keputusan sendiri, privasi mereka dilanggar, dan tidak bisa merasa mandiri, itu bisa membahayakan kesehatan jiwa mereka. Mereka bisa merasakan kecemasan, takut memulai hal baru, dan tidak bisa berbaur dalam masyarakat.
8. Sering merasa cemas.
Anak dari keluarga toxic sering didiagnosis dengan gangguan kecemasan. Ini terjadi karena ketakstabilan kondisi keluarga, kekerasan psikis dan fisik, serta kurangnya rasa aman. Anak dengan gangguan kecemasan sulit berkonsentrasi serta bisa merasa mudah marah, gelisah, khawatir, dan tegang.
No comments:
Post a Comment